Belakangan ini gue suka mikir random, kenapa sih ada orang yang bisa berhasil tanpa privilege dan kenapa ada orang yang walopun udah punya privilege tapi masih belom berhasil atau prosesnya dalam mencapai kesuksesan bisa dibilang cukup lama?
Contohya, gue punya temen yang cukup punya privilege dari orang tuanya, lahir di keluarga yang berkecukupan, orang tua PNS, dapet fasilitas ini dan itu, ga usah pusing mikirin biaya kuliah, uang transport, dan uang makan. Semuanya sudah tersedia, tapi masih belum bisa dibilang sukses sampe sekarang.
Contoh lainnya, gue punya temen yang hidup dalam keterbatasan ekonomi dan kesenjangan sosial yang cukup ekstrem, orang tuanya single parent yang kerjanya serabutan, tapi dia bisa kuliah pake usahanya sendiri bahkan dapet beasiswa magister ke luar negeri, pulang dari sana dia kerja di perusahaan multi-internasional dan punya jenjang karir yang bagus.
Padahal yang satu hidup dalam privilege yang sudah ada dari orang tuanya, yang satu lagi hidup dalam keterbatasan dan membangun privilege-nya sendiri.
Perbedaannya cuma satu, seberapa cepat mereka sadar kalo mereka sedang berada di dalam ring pertarungan kehidupan.
Temen gue yang dari orang tua kaya ga sadar kalo hidup itu sebenernya keras dan menyakitkan, karena selama ini dia hidup dalam kenyamanan dan fasilitas yang dikasih oleh orang tuanya, tau-tau dia sadar pas udah tua dan merasa "kok hidup gue gini-gini aja ya? ga berproses, dan ga maju kayak yang lainnya?"
Sedangkan temen gue yang dari keluarga miskin, disadarkan dengan realita kehidupan pahit sejak ayahnya meninggal dan harus menanggung hutang keluarga sejak dia SMA, makanya itu ga ada waktu bagi dia untuk nonton drama korea atau sekedar scroll-scroll sosial media, sejak dini dia udah dapet realita pahit dan sadar kalo sebenernya dia berada di dalam ring pertarungan yang keras bernama kehidupan.
Pepatah pernah bilang, kita harus merasakan sekali pukulan yang keras untuk sadar kalo kita sedang berada di dalam pertarungan.
Pukulan disini bisa beragam tergantung konteks masing-masing orang memaknai kehidupan, ada yang bentuknya patah hati, ada yang bentuknya diremehkan orang lain di tanah rantau, bahkan ada yang bentuknya se-simple perasaan ketinggalan dari orang yang usianya jauh di bawah kita tapi pencapaian di hidupnya melebihi pencapaian kita.
Sebuah pukulan telak sama kayak bahan bakar yang perlu terus diisi supaya kita tetap bisa berjalan ke depan, ga ada sesuatu yang bisa didapat tanpa adanya pengorbanan, semakin sakit pukulan yang kita terima, semakin sadar kalo pertarungan kita ga mudah dan semakin keras juga usaha kita untuk bisa memenangkan pertarungan itu, jadi jangan takut dengan rasa sakit, no pain no gain.
Masalahnya, semakin lama kita berada di zona nyaman, kita semakin ga terbiasa sama rasa sakit yang diperoleh, makanya banyak orang yang ngerasa sakit dikit langsung menarik diri dari kehidupan sosial, langsung membatasi interaksi, menutup diri, dan menciptakan dunia ilusi yang isinya teman-teman yang selalu mendukung doang.
Menurut gue, lebih baik hidup dengan realita yang pahit ketimbang hidup dalam dunia ilusi yang manis. Kalo lo ngerasa badan lo kurang body goals ya solusinya adalah olahraga dan jaga pola makan, bukan malah ngumpulin temen yang punya pikiran kalo cantik ga harus langsing, kalo lo ngerasa ga mampu untuk beli mobil ya kerja keras kumpulin duit biar bisa beli mobil, bukan malah nyari pasangan yang mau diajak susah, panas-panasan sampe ujan-ujanan naek motor. Sebuah logika sederhana yang seringkali terlupakan.
Semoga kita semua kedepannya ga pernah takut lagi sama trigger-trigger yang ada di kehidupan, berusaha memperbaiki dari akar masalah, tidak pernah lari, apalagi memblokir sosial media orang atas insecurity kita sendiri. Semoga.
Tulisan ini merupakan bagian dari 30 Days Writing Challenge, di mana gue menantang diri sendiri untuk menulis blog selama 30 hari.
0 komentar
Please leave a comment ..