Day 07: Cita-Cita



Gue tergolong anak yang gampang termotivasi dan terinspirasi sama suatu hal. Misalnya dulu abis nonton film Harry Potter, gue mendadak pengen masuk sekolah sihir, yang mana pas keinginan itu gue lontarkan ke orang rumah, seisi rumah pada heboh "KAMU MAU JADI DUKUN SANTET?" 

Semakin banyak hal yang gue tonton, semakin sering cita-cita gue berganti. Pas nonton film super hero mendadak pengen jadi spiderman, pas nonton doraemon mendadak pengen jadi profesor, untung pas gue masih kecil ga tertarik buat nonton berita kriminal. 

Gue inget banget dulu pas masih awal-awal masuk sekolah SD ditanyain sama guru pengen jadi apa, gue yang waktu itu cuman tau profesi itu cuma ada pilot, polisi, guru, dan dokter, gue jawab profesi yang paling keren aja, pilot. Karena bagi sebagian anak kecil, bisa mengendarai sesuatu itu sangat lah keren, apalagi ini mengendarai pesawat dan bisa terbang.

Rata-rata anak di Indonesia masih diarahkan dengan profesi tertentu sebagai cita-cita mereka. Padahal kalo di luar negeri sana, banyak anak-anak yang se-simple pengen jadi tukang pipa, sopir truk sampah, sampe tukang bangunan yang menurut mereka bisa make helm proyek dan mengendarai kendaraan besar itu sangatlah keren. Orang tua di negara maju sangat support dan menghargai apa pun cita-cita dari anak mereka, walopun beranjak dewasa cita-citanya juga berubah, tapi seenggaknya tetep di-support dengan dibeliin mainan truk, palu, sampe helm proyek.

Kalo di Indonesia, punya cita-cita jadi kuli bangunan pasti udah diketawain sampe ketua RT setempat. Kesenjangan kelas sosial dan kurang menghargai profesi seseorang masih mengakar di sebagian masyarakat disini.

Gue jadi inget, para tetangga yang menganggap gue adalah seorang pengangguran dan dipandang sebelah mata karena gue terlihat cuma di dalem rumah aja tanpa ngelakuin apa-apa. Padahal mereka ga tau, kalo gue sering lembur sampe malem karena deadline, gue menghasilkan uang dari rumah, dan mereka kebingungan kenapa gue bisa beli ini-itu padahal cuma di rumah aja.

Makin kesini, gue malah menyusun cita-cita atau mimpi gue dengan pendek-pendek, ga tinggi-tinggi lagi. Karena ada satu hal yang gue sadari, lo boleh bermimpi setinggi langit asal langitnya keliatan. Jangan terlalu halu, sesuaikan sama kemampuan dan usaha lo, ga usah dengerin motivator yang suka jualan mimpi, kondisi start kalian aja udah beda.

Gue jadi inget sama seorang temen yang punya mimpi untuk kerja dengan gaji 20 juta perminggu, pas gue tanya kerja apaan dan gimana cara dapetinnya, dia jawab gatau. Mungkin dia sekarang masih memegang mimpi-mimpinya itu, atau udah mulai realistis dengan menurunkan standar mimpinya sendiri, tapi setelah denger jawaban dia yang gatau gimana cara meraih cita-citanya sendiri bikin gue mikir, kira-kira gue sama kayak dia ga ya?

Cita-cita utama yang setinggi langit emang penting sebagai visi di hidup kita, biar bisa lebih fokus dan ga gampang ke-distract sama hal baru di tengah jalan yang mungkin lebih menyenangkan dan menjanjikan.

Tapi menyusun cita-cita atau mimpi secara pendek-pendek, bisa lebih menurunkan tingkat stres, karena mimpi yang pendek bakal cepet atau gampang tercapai, setelah tercapai kita bermimpi lagi, dan gitu aja seterusnya sampe ga kerasa kalo kita ternyata udah berada di atas awan.


Tulisan ini merupakan bagian dari 30 Days Writing Challenge, di mana gue menantang diri sendiri untuk menulis blog selama 30 hari.


0 komentar

Please leave a comment ..