Day 09: Pelajaran Cinta dari Socrates



Suatu hari Plato bertanya kepada Socrates, "Apa itu cinta?"

Socrates lalu menyuruh Plato untuk berjalan di ladang gandum dan meminta Plato untuk membawakan satu tangkai gandum yang paling indah di ladang tersebut.

Plato mulai berjalan menyusuri ladang gandum dan ia pun kembali tanpa membawakan satu tangkai gandum pun kepada Socrates.

"Kenapa kau kembali dengan tangan kosong?" Tanya Socrates.

"Saat aku mulai berjalan menyusuri ladang gandum, aku menemukan satu tangkai gandum yang indah, tapi aku tak mengambilnya dengan harapan di depan sana masih ada gandum yang lebih indah, tapi ternyata sampai di ujung ladang aku tak menemukan satu tangkai gandum yang lebih indah dari yang pertama kali kulihat. Saat aku kembali untuk mengambil tangkai gandum paling indah yang pertama kali kulihat, tangkai gandum itu sudah tidak ada." Jawab Plato.

"Ya, itulah cinta. Kadang seseorang hadir di kehidupan kita tapi kita mengabaikannya dan merasa bahwa masih ada orang yang jauh lebih baik dari yang sekarang, sampai suatu hari kita sadar bahwa tidak ada yang lebih baik dari dia, dan kita tidak mendapatkan apa pun dari berharap." Balas Socrates.


***

Pelajaran yang bisa kita ambil dari Socrates adalah bagaimana kita harus bisa merasa cukup dan tidak serakah, hal ini yang mungkin bertentangan dengan konsep pernikahan anak muda jaman sekarang yang selalu beranggapan kalo nikah itu sehidup semati, harus dilihat bibit-bebet-bobotnya, harus dipilih bener-bener, dan selalu membuka kesempatan untuk orang baru yang terlihat lebih baik dari orang sebelumnya.

Ditambah dengan teknologi dan berbagai aplikasi kencan online yang bikin kita bisa punya banyak pilihan dalam memilih pasangan hidup, padahal inti dari menjalin hubungan dengan seseorang itu adalah toleransi.

Walaupun udah satu frekuensi, tapi kalo ga bisa menghargai batasan-batasan yang sudah disepakati atau malah ga kepikiran buat ngobrolin masalah batasan atau ekspektasi dari masing-masing individu karena dianggap tabu dan sangat memicu sebuah konflik, ya suatu hubungan itu bakal jadi bom waktu yang siap meledak cepat atau lambat.

Makanya rules pertama bagi gue dalam memilih pasangan itu ngobrol. Bisa diajak ngobrol, tukar pikiran, dan cerita tentang apa aja tanpa takut kena judgemental, ga cuman manut-manut apa kata gue doang. Dia harus manusia yang punya jiwa dan mimpi, bukan cuman anak manusia yang selalu berjalan di belakang suami.

Semakin berbeda kita, semakin banyak bahan diskusi yang ga akan habis buat dijadiin bahan deep talk sampe pagi. Semakin beda, juga berarti semakin tinggi toleransi di dalam rumah yang terjadi. Maksud beda disini bisa beragam, mulai dari beda perspektif, beda adat, beda budaya, beda ideologi, agama, sampe cara makan bubur yang diaduk atau enggak.

Menurut gue, pasangan itu kayak sebuah potongan puzzle yang harus dicocokin dan ga ada potongan puzzle yang sempurna, pasti ada bagian yang menonjol dan ada bagian yang menjadi kekurangan. Bagian pentingnya adalah, bagaimana kita bisa saling menyesuaikan, dan saling menurunkan ego biar potongan puzzle-nya bisa pas.

Sama kayak Plato di sebuah ladang gandum, kalo misalnya Plato merasa cukup dengan tangkai gandum yang pertama kali dia lihat tanpa berharap ada yang lebih baik yang menanti di depan, pasti dia kembali ke Socrates dengan perasaan lega dan sumringah karena menganggap gandum yang dia pegang adalah gandum terindah di dunia.


Tulisan ini merupakan bagian dari 30 Days Writing Challenge, di mana gue menantang diri sendiri untuk menulis blog selama 30 hari.

0 komentar

Please leave a comment ..