Day 18: Marriage or Wedding



Menanggapi postingan seorang blogger bernama Frederica Giovani yang menuliskan tentang pesta pernikahan dan kehidupan setelah pernikahan Disini, gue jadi terugah buat ikutan bahas topik serupa di postingan blog gue kali ini. Ditambah, ternyata gue belum pernah ngangkat topik ini di blog gue sebelumnya.

Beberapa waktu yang lalu netizen dihebohkan dengan kasus KDRT yang menimpa salah satu public figure dan seorang penyanyi dangdut terkenal, mungkin kalian udah tau siapa yang gue maksud, jadi ga perlu gue sebut namanya disini. Intinya adalah sebelum mereka menikah netizen sibuk jodoh-jodohin mereka dan menganggap mereka sangatlah cocok, pas keduanya baper dan menikah pun netizen menganggap bahwa mereka adalah couple goals, lalu ketika ada isu kekerasan dalam rumah tangga, netizen yang bela-belain mereka langsung hilang bak ditelan bumi.

Banyak spekulasi yang muncul tapi gue gamau ikutan berkomentar karena gue ga terlalu ngikutin beritanya, yang mau gue tekankan disini adalah, kehidupan setelah pernikahan ternyata ga segampang itu, sesuatu yang covernya terlihat bagus sampe dibilang couple goals oleh netizen pun masih bisa terjadi miss yang berujung kekerasan. Jadi, yakin mau nikah cepet-cepet?

Filter gue untuk melihat apakah gue udah menemukan orang yang cocok buat gue nikahin adalah dengan ngeliat pasangan gue marah atau ngomel-ngomel, kalo gue ngeliat dia ngomel bawaannya pengen meluk, she's the one! tapi kalo pas ngeliat dia ngomel bawaannya pengen nampol, mau secantik apa pun dia, kayaknya ga dulu. Karena konflik pasti terjadi, kendalinya ada di tangan kita masing-masing, mau sebesar apa efek dari konflik itu.

Di Indonesia, mayoritas pernikahan cuma ditentukan oleh dua hal: Cinta dan Uang. Asalkan sama-sama saling mencintai dan udah berpenghasilan semua orang bakal support untuk melangsungkan pernikahan, padahal ga sesimple itu, kapten!


Setiap pasangan harusnya punya bekal soal psikologi pernikahan, fiqih pernikahan, psikologi perempuan, hukum positif pernikahan, kesehatan reproduksi, perencanaan dan pengelolaan keuangan, masa survival 5 tahun pertama pernikahan, sampe ilmu tentang parenting buat pasangan yang berencana punya momongan.

Dalam Katholik pun kalo sebuah pasangan mau melangsungkan pernikahan secara Katholik harus melewati yang namanya Penyelidikan Kanonik yang isinya tentang kesiapan satu sama lain sampe materi-materi pra-nikah yang kabarnya sangat banyak dan memakan waktu dan tenaga yang ga sedikit (correct me if I wrong), tapi itu semua demi kehidupan setelah pernikahan yang harmonis dan meminimalisir konflik yang berakibat fatal.

Merasa cukup dengan pasangan juga perlu ditumbuhkan, jangan sampe di tengah-tengah pernikahan entah kita atau pasangan kita malah masih ngelirik-lirik orang lain yang berujung ke perselingkuhan. Itu kenapa gue masih bingung sama orang yang ninggalin pacarnya yang udah pacaran 7 tahun dan memilih untuk menikahi orang yang baru dikenal 3 bulan dengan alasan pacarnya belum siap nikahin. Simplenya, kalo komitmen selama 7 tahun aja bisa dilanggar demi orang yang baru 3 bulan dikenal, gimana nanti pas marriage life? yakin bisa setia? yakin bisa kompromi dan toleransi sama sifat atau watak orang yang baru kita kenal 3 bulan?

Karena pasangan kita adalah satu-satunya anggota keluarga yang bisa kita pilih, jadi harus dipilih baik-baik. Kita ga bisa milih mau punya orang tua yang kayak gimana, mau punya kakak atau adek kayak gimana, bahkan kita ga bisa milih punya anak yang kayak gimana, yang bisa kita pilih cuma pasangan.

Kalo ngomongin weddingnya sendiri gue pribadi lebih pengen private wedding party di sebuah tempat yang sepi dan private, gue kurang terlalu suka konsep pesta pernikahan yang memajang pengantin berjam-jam di pelaminan dan ditontonin banyak orang, ini bukan kebun binatang manusia, tapi acara pernikahan. Walopun balik lagi ke perspektif masing-masing sih, kadang kita pengennya begini tapi keluarga besar pengennya begitu, dan gue ga bisa egois juga karena acara pernikahan adalah acara keluarga milik calon pasangan gue kelak.

Pada intinya, gue setuju sama statement Frederica yang bilang kalo kita harus matengin dulu soal marriage-nya sebelum ngomongin tentang wedding-nya sama pasangan kita masing-masing, jangan sampe weddingnya sempurna tapi marriage life-nya berantakan.

Ada statement menarik soal pernikahan yang gue inget sampe sekarang, pernikahan itu bisa jadi ujian yang dikasih ke kita atau bisa jadi pernikahan itu adalah kenikmatan yang dilimpahkan ke kita, mau itu adalah ujian atau nikmat, semuanya tergantung dari ilmu kita tentang kehidupan pernikahan itu sendiri.


Tulisan ini merupakan bagian dari 30 Days Writing Challenge, di mana gue menantang diri sendiri untuk menulis blog selama 30 hari.

0 komentar

Please leave a comment ..